Kamis, 04 Oktober 2012

Mitos Penjajahan 350 Tahun

Peresensi: Bandung Mawardi

Judul: Bukan 350 Tahun Dijajah
Penulis: GJ Resink
Penerbit: Komunitas Bambu, Depok
Cetak: 2012
Tebal: xxxiv + 366 halaman

Sejarah Indonesia masih terus ditulis tapi tidak luput dari kritik atas sekian mitos. Kita mungkin tidak mengira bahwa materi di buku-buku pelajaran sejarah tentang penjajahan di Indonesia berlangsung selama 350 tahun adalah mitos. Para pemimpin bangsa juga sering mengatakan hal serupa. Soekarno dalam sekian pidato dan tulisan tentang revolusi Indonesia ternyata sulit mengelak dari mitos 350 tahun dijajah. Kita bisa ajukan bukti lanjutan bahwa para pembina upacara atau tokoh politik telanjur menerima mitos itu saat berseru nasionalisme. Mitos belum berakhir.
      Getrudes Johannes Resink saat meneliti buku pelajaran susunan Sutjipto Wirjosuprapto berjudul Dari Lima Zaman Penjajahan ke Zaman Kemerdekaan (1953) mengalami keterkejutan. Buku pelajaran itu memuat informasi: Nusantara dijajah selama 350 tahun. Informasi fatal lanjutan adalah Nusantara mengalami imperialisme-kolonialisme oleh Portugis selama 100 tahun. Total lama penjajahan: 450 tahun. Semua itu mitos! Resink prihatin atas kompetensi penulisan sejarah bertaburan mitos. Resink mengingatkan: “Gambaran ini akan menimbulkan perasaan keji di antara pengajar dan pelajar. Alih-alih, perasaan harga diri sebagai ciri khas sejarah Indonesia.”
     
Kita diajak oleh Resink untuk menelusuri kembali sejarah Indonesia melalui perspektif hukum. Resink menemukan bukti-bukti menakjubkan tentang pelbagai kebenaran agar bisa meruntuhkan mitos. Buku Bukan 350 Tahun Dijajah menjadi suluh sejarah bagi kita saat mengenangkan Indonesia dan memikirkan masa depan. Pengantar dalam edisi bahasa Inggris mengajukan konklusi bahwa telaah Resink berupa penelanjangan terhadap kesalahan pengertian mengenai 350 tahun kekuasaan kolonial Belanda atas Indonesia.
      Kehadiran para penulis sejarah Indonesia asal Indonesia memang terlambat. Hal ini membuat pemahaman sejarah terpengaruhi oleh para penulis Belanda dan Eropa. Sekian nama sarjana asing kerap jadi rujukan meski tak luput dari pamrih Belandasentris atau Eropasentris: Wertheim, Van Leur, Vlekke, Van Mook. Resink pun mengajukan para penulis asal Indonesia sebagai bandingan kompetensi dan perbedaan perspektif: Purbatjaraka, Pringgodigdo, Muhammad Yamin, Armijn Pane. Kaum intelektual ini perlahan memiliki otoritas dalam penulisan sejarah di persimpangan politis dan psikologis.
      Resink mengutip pandangan W den Boer: “Suatu gambaran sejarah yang dibentuk para sejarawan, jika oleh generasi yang berpengaruh diawetkan menjadi mumi, akan sangat membahayakan.” Kutipan ini sengaja dipakai Resink untuk memberi kritik bagi para politisi tentang anggapan Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Resink juga menemukan mitos itu masih tersisa dalam penulisan sejarah revolusi di Indonesia oleh George Mc Turnan Kahin. Sumber mitos itu justru berasal dari pernyataan para sejarawan kolonial asal Belanda karena pemerintahan kolonial di Hindia Belanda awal abad XX memerlukan pandangan demikian.
      Resink menginformasikan bahwa keberpihakan para sejarawan asing atau Indonesia atas pemilahan mitos dan kebenaran bakal menjelaskan gambaran sejarah memukau selama berabad-abad. Sikap intelektual dan moral dalam menuliskan sejarah menentukan derajat kebenaran. Modal ini mesti dimiliki para sejarawan agar tak tergelincir ke pandangan sesat atau jatuh di kubangan mitos. Pengabaian kompetensi rentan menimbulkan perspektif keji, kasar, amburadul. Resink pun menghimbau: “… kemusnahan pandangan sejarah dalam perspektif kasar bakal pula menandai peralihan dari penulisan sejarah kolonial ke penulisan sejarah nasional.”
      Telaah Resink memang telah diajukan sejak lama tapi jarang menemukan gaung untuk pembelajaran sejarah di Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan 14 tulisan dengan dominasi publikasi di masa 1950-an. Penerjemahan ke bahasa Indonesia menjadi ajakan bagi kita membaca ulang sejarah secara kritis. Resink adalah sejarawan, ahli hukum, dan pujangga. Sosok ini lahir di Jogjakarta (11 Oktober 1911) tapi keturunan Belanda. Selisik sejarah dibarengi dengan penulisan puisi-puisi merujuk ke alam kejawen. Resink hadir sebagai pengingat sejarah untuk kita.
      Seruan-seruan Resink memang belum mendapati jalan untuk menyapa publik dalam pengenalan biografis. Pemberian hormat dalam model biografi pantas diberikan pada Resink karena keterlibatan dalam ranah sastra, sejarah, hukum, dan pendidikan di Indonesia. Resink pernah mengabdikan diri sebagai pengajar dan memilih kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1950. Tokoh ini pernah tercatat sebagai dosen di Universitas Indonesia sejak tahun 1950-an. Ketokohan memerlukan dokumentasi pengenalan agar tak menjamur sebagai penanda zaman.
      Penerjemahan dan penerbitan buku Bukan 350 Tahun Dijajah mungkin bisa membuat kita mafhum tentang ketokohan dan pandangan kritis atas sejarah Indonesia. Asvi Warman Adam memberi tanggapan: “Resink membuktikan sebenarnya Belanda tidak menjajah selama 350 tahun, tetapi yang jadi pertanyaan mengapa hal tersebut masih tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah dan sering disebut dalam pidato-pidato?” Buku ini memang penting untuk dibaca dan menghindarkan kita dari mitos. Kebenaran dalam penulisan sejarah Indonesia memerlukan keberanian untuk memberi kritik dan refleksi. Begitu.

Resensi ini pernah dimuat JAWA POS, 26 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar