Oleh: Juhendri Chaniago
Judul : Pemintal Kata:
Tuturan seorang penulis yang
ingin mengubah dunia
Penulis : Mu’arif
Penerbit : Bukulaela, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2007
Halaman : 168 Halaman
Agak berbeda
dari buku-buku tentang menulis lainnya, buku Mu’arif ini malah menyatakan bahwa
menulis di media massa itu ternyata “gampang-gampang susah”. Hal ini bukan
bermaksud untuk mengendorkan semangat para penulis pemula. Tapi itulah
kenyataannya. Karena kemampuan menulis, kata Mu’arif, justru akan diperoleh
lewat proses belajar secara kontinyu. Tak terkecuali bagi para penulis senior
sekalipun.
Makanya, sembari
mengutip pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik” (Ni’mal muaddib ad-dhar), Mu’arif pun (dalam buku ini) lantas
menuturkan pengalamannya selama ia menjadi penulis yang “gampang-gampang susah”
itu. Baik ketika “pahitnya” ia mengawali karir kepenulisannya maupun ketika ia
mengatasi rasa mindernya. Bahkan
karena mindernya, sampai-sampai ia
pernah berkata; “Jangan dibaca, saya malu!”
Adapun sikap
sabarnya atas penolakan-penolakan yang (berkali-kali) dialaminya saat ia
menawarkan naskah-naskah bukunya kepada para penerbit di Jogja, barangkali ini
bisa jadi contoh yang baik. Bahwa kesabaran dan ketekunan merupakan bagian dari
proses untuk menjadi seorang penulis. Sekadar contoh, setelah hampir 150-an
artikel yang Mu’arif tulis dan kirimkan ke harian Kompas, ternyata baru dua yang dimuat, yakni tanggal 20 Juli dan 20
Agustus 2004.
Kendati demikian, tanpa kenal menyerah, Mu’arif terus menerus menulis serta mengirimkan artikel-artikelnya, baik ke Kompas maupun ke surat kabar lainnya. Termasuk juga masih menulis naskah-naskah bukunya yang konon makin menumpuk di rak-rak bukunya. Oleh sebab itu, Mu’arif juga selalu memotivasi diri, meskipun ketika ia kini telah menghasilkan banyak buku. “Ah, ternyata saya memang harus banyak belajar lagi!” Demikian prinsipnya.
Bicara gairah
menulis? Ya, dalam bukunya ini Mu’arif juga tak lupa memberikan langkah-langkah
strategis untuk menumbuhkan gairah menulis. Pertama, ialah membaca! (Hal ini
memang kerap dianjurkan oleh para penulis ataupun dalam buku-buku menulis
lainnya). Tapi lebih jelasnya, untuk menjadi seorang penulis, seseorang harus
memiliki tradisi yang kuat dalam membaca atau melahap buku-buku.
Disamping itu,
diskusi yang cerdas juga dapat menumbuhkan semangat menulis. Karena, selain memperkaya wawasan penulis,
diskusi kiranya mampu melecut ide atau gagasan dalam melahirkan (sekaligus
mematangkan) sebuah tulisan. Jadi, diskusi itu amatlah penting bagi dunia
tulis-menulis. Ibarat kata, jangan sampai penulis bagaikan “katak dalam
tempurung”. Atau ketinggalan informasi, misalnya.
Kemudian, yang
terpenting lagi adalah, mulailah menulis! Karena membaca, berpikir, dan
berdiskusi agaknya belumlah lengkap kalau tak diwujudkan dalam bentuk tulisan.
Singkat cerita, dengan mentradisikan membaca, berdiskusi, dan menulis, kita pun
(yang ingin jadi penulis) akan lebih mudah untuk menapaki jalan sebagai
penulis.
Kecuali itu,
dalam buku ini, Mu’arif juga memaparkan liku-liku dunia penerbitan buku,
khususnya penerbitan buku di Jogja yang identik sebagai “Kota Pelajar” atau
“kota sejuta buku”. Demikian pula kisahnya ketika ia harus menghadapi polemik
di media massa akibat idealismenya dalam menulis. Yakni siap dikritik,
disindir, diejek, bahkan ditolak berkali-kali oleh penerbit. Tapi itulah
dinamikanya seorang penulis. Karenanya, Mu’arif juga berpesan, tetaplah menulis
dengan tanpa beban dan rasa bosan. Pun menulislah dengan idealisme. Dan agar
menulis tak jadi beban, jadikanlah proses menulis sebagai proses mengubah dunia
dengan kata-kata. Jangan seperti fenomena Ghost-Writer
(penulis hantu), yang menurut Mu’arif lagi, tanpa idealisme dan cita-cita.
Akhir kata,
pengalaman Mu’arif dalam bukunya ini kiranya dapatlah mengilhami kita untuk
memahami bagaimana proses menjadi penulis itu sebenarnya. Apalagi dengan
bahasanya yang tegas, lugas dan kritis, pemikiran Mu’arif ini—selain dapat
memotivasi para penulis—ternyata juga cocok untuk menumbuhkan gairah kritis dan
analisis para aktivis atau kaum intelektual kita, yaitu para penulis dan
aktivis yang ingin melakukan perubahan. Dan memang, lewat bukunya ini, Mu’arif
seakan mengajak kita (terutama para penulis dan aktivis) agar meningkatkan
kualitas intelektualnya dengan menulis di media massa. Pendek kata, buku ini
sangatlah tepat bagi para penulis (pemula) atau para aktivis yang ingin
menuangkan gagasannya dalam tulisan.
Jadi, masihkah
menulis itu gampang-gampang susah? Jawabnya, tidak! Kalau kita mau membaca
pengalaman Mu’arif ini.
***
Hemmm...lumayan utk pengayaan refrensi.. Btw, terbit di mana nih, bg...?
BalasHapus
BalasHapusPenerbit buku laela.. Saya menjual ini buku. Matraman book sale di BukaLapak