Kamis, 06 September 2012

MENULIS ITU “GAMPANG-GAMPANG SUSAH”



Oleh: Juhendri Chaniago

Judul               : Pemintal Kata:
  Tuturan seorang penulis yang ingin mengubah dunia
Penulis            : Mu’arif
Penerbit          : Bukulaela, Yogyakarta
Cetakan          : I, November 2007
Halaman         : 168 Halaman


Agak berbeda dari buku-buku tentang menulis lainnya, buku Mu’arif ini malah menyatakan bahwa menulis di media massa itu ternyata “gampang-gampang susah”. Hal ini bukan bermaksud untuk mengendorkan semangat para penulis pemula. Tapi itulah kenyataannya. Karena kemampuan menulis, kata Mu’arif, justru akan diperoleh lewat proses belajar secara kontinyu. Tak terkecuali bagi para penulis senior sekalipun.
Makanya, sembari mengutip pepatah “Pengalaman adalah guru terbaik” (Ni’mal muaddib ad-dhar), Mu’arif pun (dalam buku ini) lantas menuturkan pengalamannya selama ia menjadi penulis yang “gampang-gampang susah” itu. Baik ketika “pahitnya” ia mengawali karir kepenulisannya maupun ketika ia mengatasi rasa mindernya. Bahkan karena mindernya, sampai-sampai ia pernah berkata; “Jangan dibaca, saya malu!”
Adapun sikap sabarnya atas penolakan-penolakan yang (berkali-kali) dialaminya saat ia menawarkan naskah-naskah bukunya kepada para penerbit di Jogja, barangkali ini bisa jadi contoh yang baik. Bahwa kesabaran dan ketekunan merupakan bagian dari proses untuk menjadi seorang penulis. Sekadar contoh, setelah hampir 150-an artikel yang Mu’arif tulis dan kirimkan ke harian Kompas, ternyata baru dua yang dimuat, yakni tanggal 20 Juli dan 20 Agustus 2004.

Kendati demikian, tanpa kenal menyerah, Mu’arif terus menerus menulis serta mengirimkan artikel-artikelnya, baik ke Kompas maupun ke surat kabar lainnya. Termasuk juga masih menulis naskah-naskah bukunya yang konon makin menumpuk di rak-rak bukunya. Oleh sebab itu, Mu’arif juga selalu memotivasi diri, meskipun ketika ia kini telah menghasilkan banyak buku. “Ah, ternyata saya memang harus banyak belajar lagi!” Demikian prinsipnya.
Bicara gairah menulis? Ya, dalam bukunya ini Mu’arif juga tak lupa memberikan langkah-langkah strategis untuk menumbuhkan gairah menulis. Pertama, ialah membaca! (Hal ini memang kerap dianjurkan oleh para penulis ataupun dalam buku-buku menulis lainnya). Tapi lebih jelasnya, untuk menjadi seorang penulis, seseorang harus memiliki tradisi yang kuat dalam membaca atau melahap buku-buku.
Disamping itu, diskusi yang cerdas juga dapat menumbuhkan semangat menulis.  Karena, selain memperkaya wawasan penulis, diskusi kiranya mampu melecut ide atau gagasan dalam melahirkan (sekaligus mematangkan) sebuah tulisan. Jadi, diskusi itu amatlah penting bagi dunia tulis-menulis. Ibarat kata, jangan sampai penulis bagaikan “katak dalam tempurung”. Atau ketinggalan informasi, misalnya.
Kemudian, yang terpenting lagi adalah, mulailah menulis! Karena membaca, berpikir, dan berdiskusi agaknya belumlah lengkap kalau tak diwujudkan dalam bentuk tulisan. Singkat cerita, dengan mentradisikan membaca, berdiskusi, dan menulis, kita pun (yang ingin jadi penulis) akan lebih mudah untuk menapaki jalan sebagai penulis.
Kecuali itu, dalam buku ini, Mu’arif juga memaparkan liku-liku dunia penerbitan buku, khususnya penerbitan buku di Jogja yang identik sebagai “Kota Pelajar” atau “kota sejuta buku”. Demikian pula kisahnya ketika ia harus menghadapi polemik di media massa akibat idealismenya dalam menulis. Yakni siap dikritik, disindir, diejek, bahkan ditolak berkali-kali oleh penerbit. Tapi itulah dinamikanya seorang penulis. Karenanya, Mu’arif juga berpesan, tetaplah menulis dengan tanpa beban dan rasa bosan. Pun menulislah dengan idealisme. Dan agar menulis tak jadi beban, jadikanlah proses menulis sebagai proses mengubah dunia dengan kata-kata. Jangan seperti fenomena Ghost-Writer (penulis hantu), yang menurut Mu’arif lagi, tanpa idealisme dan cita-cita.
Akhir kata, pengalaman Mu’arif dalam bukunya ini kiranya dapatlah mengilhami kita untuk memahami bagaimana proses menjadi penulis itu sebenarnya. Apalagi dengan bahasanya yang tegas, lugas dan kritis, pemikiran Mu’arif ini—selain dapat memotivasi para penulis—ternyata juga cocok untuk menumbuhkan gairah kritis dan analisis para aktivis atau kaum intelektual kita, yaitu para penulis dan aktivis yang ingin melakukan perubahan. Dan memang, lewat bukunya ini, Mu’arif seakan mengajak kita (terutama para penulis dan aktivis) agar meningkatkan kualitas intelektualnya dengan menulis di media massa. Pendek kata, buku ini sangatlah tepat bagi para penulis (pemula) atau para aktivis yang ingin menuangkan gagasannya dalam tulisan.
Jadi, masihkah menulis itu gampang-gampang susah? Jawabnya, tidak! Kalau kita mau membaca pengalaman Mu’arif ini.                                                            

***

2 komentar:

  1. Hemmm...lumayan utk pengayaan refrensi.. Btw, terbit di mana nih, bg...?

    BalasHapus

  2. Penerbit buku laela.. Saya menjual ini buku. Matraman book sale di BukaLapak

    BalasHapus